Struktur Dewan Pendiri Garoet Institut :

Aam Abdussalam (Penasehat), Zaky Musthofa (Direktur Eksekutif ), Ade Abdullah ( Sekretaris ), Elfa Noviani( Bendahara ), Siti Ratna Maymunah ( Litbang )

Kamis, 27 Mei 2010

Kompetisi, Akar Konflik

Kompetisi, Akar Konflik PDF Print
Thursday, 27 May 2010
PEKAN-PEKAN ini Indonesia banyak menyaksikan konflik.Konflik antarkelompok etnik/desa di Papua,konflik antarkampus di Makassar, konflik batas desa di Mataram, konflik antarsesama jenderal polisi, konflik antara politisi dan eksekutif, konflik pilkada di berbagai daerah, hingga konflik antarpelaku usaha.

Di lain pihak, Indonesia menjanjikan tontonan demokrasi yang menarik di Partai Demokrat: kompetisi keras di lapangan dan media yang berujung pada kerja sama. Setelah saya pelajari di sanasini, ternyata hampir semua konflik yang terjadi di negeri ini tidak lepas dari persoalan persaingan, khususnya persaingan ekonomi dan kekuasaan. Sulit saya bayangkan, orang-orang hebat tiba-tiba berubah menjadi geram dan kekanak-kanakan.

Bahkan orangorang nasionalis tulen bisa marahmarah di depan kamera televisi karena kepentingannya terusik.Atau sulit saya bayangkan orang-orang yang pernah menjadi guru saya di kampus mengamuk seperti seekor kerbau yang berbicara dengan napas terengah-engah,mencaci maki mahasiswa yang mengusik kepentingannya. Siapkah Indonesia hidup dalam alam persaingan?

Mereka Sebut Neolib

Di kalangan para ekonom,saya sering mendengar istilah tertawaan yang diusung orang-orang tertentu. Mereka menyebut neolib. Ekonom-ekonom sendiri sering tersenyum mendengar sebutan itu. Maklum, istilah ini lebih banyak dipakai mereka yang otak politiknya atau otak konfliknya lebih kuat ketimbang otak ekonominya. Perhatikanlah kata neolib itu diucapkan dengan bibir yang menyungging sinis.

Seakan-akan mereka ingin menyatakan neolib itu tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat.Neolib cuma pandai mencium tangan lembaga-lembaga donor. Sebegitu sinisnya sampaisampai komedian Butet Kartaredjasa pernah mengguyoninya pada sebuah program televisi yang disiarkan JakTV. Dia menekan ingusnya sambil mengoceh neolib. Seorang Butet saja mengerti bahwa kata neolib telah menjadi bahasa yang dipolitisasi.

Baginya bukan cuma ingus, maaf, kentut pun bisa berbunyi neolib.Kelihatan sekali saat itu dia begitu berang dengan “orang-orang kalah” yang seenaknya memorak-porandakan panggung ekonomi dan memolitisasinya dengan label neolib. Padahal ketika ekonomi dunia tersumbat dan negara-negara terancam bangkrut pada 1980-an, di mana-mana orang berteriak meminta agar negara bisa lebih melonggarkan gerak ekonomi warga negaranya.

Listrik, air,perbankan, transportasi, dan jasa-jasa publik yang dikuasai negara saat itu ternyata lebih membuat warga negara terbelenggu.Mungkin Anda masih ingat, saat kita hanya bisa menonton satu channel televisi saja yang layarnya hitam-putih dan leher penyiarnya kurang luwes: TVRI. Anda juga mungkin masih ingat saat politik Indonesia hanya diisi dua partai saja, yaitu Golkar dan non-Golkar. Atau saat hanya ada dua surat kabar (Kompas dan non-Kompas) dan dua majalah berita (Tempo dan non-Tempo). Indonesia begitu sunyi dan damai.

Sampai tibalah sebuah liberalisasi, pembebasan peran swasta yang lebih besar. Sekarang Anda pun mulai membeli bahan bakar minyak (BBM) dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) non- Pertamina, telepon di luar PT Telkom, sekolah di luar PTN dan seterusnya. Itulah jasa para neolib yang tidak hanya terdiri atas para ekonom, melainkan juga para aktivis yang memperjuangkan demokrasi. Inti dari semua itu adalah pembebasan, peran rakyat yang lebih besar, dan tentu saja peran pasar lebih meriah yang berarti persaingan.

Kalah Bersaing

Inilah saat yang tidak mengenakkan bagi kita yang tidak terbiasa hidup di era keterbukaan. Yang pintar atau merasa pintar tidak otomatis menjadi penjabat.Semua ada pasarnya dan pasar punya aturannya sendiri, yaitu kompetisi. Namun kalau “pasar” gagal (market failure), maka otomatis pemerintah harus melakukan peranan koreksi. Pemerintah sendiri merupakan sebuah proses interaksi antara para penguasa, ya eksekutif – ya legislatif.

Maka begitu pemerintah gagal berinteraksi terjadilah government failureyang efeknya akan melebar ke mana-mana, mengganggu proses penyejahteraan masyarakat. Namun bagi saya yang lebih menarik sebenarnya bukanlah interaksi antara pemerintah dan parlemen, melainkan interaksi antarorang di negeri yang belum terbiasa hidup dalam iklim pasar yang kaya dengan spirit kompetisi.

Mudah tersinggung, curiga berlebihan, ingin cepat-cepat membalas, tidak siap menerima kekalahan, merasa kehilangan muka, terlalu cepat bereaksi, ingin mendapatkan sesuatu tanpa kerja keras, senang menjelek-jelekkan orang lain,dan seterusnya. Dalam proses transformasi yang belum sempurna,tidak semua orang yang menang adalah orangorang yang kompetitif, sementara yang kalah atau tidak terpilih belum tentu inferior.

Tetapi yang menjadi masalah adalah bila orang-orang yang tidak kompetitif menjadi pemenang dan merasa dirinya penguasa yang lengkap, sehingga seakan-akan dia adalah orang yang kompetitif. Orang seperti ini banyak bersembunyi di balik afliasi-afliasi yang memberi ruang pada motif-motif kekuasaan. Sebaliknya, juga menjadi masalah adalah orang-orang yang tidak mampu menerima kekalahan dengan lapang.Dia merasa dirinya tetap super.

Mereka biasanya terdiri atas kalangan reaksioner, yang belum apa-apa langsung menyimpulkan. Syaraf-syaraf sensorik mereka tidak berkembang dengan baik.Menjadi kritis namun sinis, yang menurut para ahli neuroplasticity, orang seperti itu akan kehilangan otak bagian depannya, yaitu bagian penting yang membentuk wisdom.

Apalah arti persaingan di negeri ini kalau kesehatan intelegensia pemimpinnya memburuk, dan karakter kebijaksanaan, yang harusnya dimiliki orang-orang tua dan para elite,hilang begitu saja. Saya benar-benar khawatir. Orang-orang yang kita hormati dan para elite yang seharusnya memimpin negeri ini ternyata mulai kehilangan kebijaksanaan, dan kita kehilangan teladan.

Karakter Berpura-pura

Saya pernah bertanya kepada orang-orang yang mengurus sekretariat di gedung parlemen: “Masalah terbesar apa yang tengah dihadapi bangsa ini?”Tentu saja pertanyaan ini lebih mudah dijawab melalui persepsi, yaitu persepsi mereka yang diperoleh dari interaksi sehari-hari dengan para politisi. Setelah menggali berkali-kali secara mendalam,akhirnya keluarlah masalah itu, yaitu jenjang intelektualitas yang begitu besar.

Menurut mereka ada empat tipe elite di parlemen,yaitu elite pintar, elite yang benar-benar bodoh, dan elit yang berpura-pura, yaitu yang berpura-pura bodoh dan yang berpura-pura pintar. Dari keempat tipe itu,manakah yang paling mengganggu? ”Tentu saja yang karakternya berpurapura,” demikian jawab mereka. Orang bodoh yang berpura-pura pintar adalah politisi yang digemari televisi,asyik ditonton dan mampu mengangkat rating.

Dan yang memprihatinkan adalah orangorang pintar yang berpura-pura bodoh. Yang pertama aktif membentuk opini masyarakat yang menyesatkan, sedangkan yang kedua asyik menimbun kekayaan dalam bentuk korupsi terselubung. Kita akhirnya hanya bisa berharap pada dua institusi,yaitu pers dan partai politik.

Keduanya samasama mempunyai peran penting untuk menyaring mana insan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan dan mana yang menyesatkan. Sebab,kehadiran karakter berpura-pura yang dominan dapat menimbulkan iklim kompetisi rusak, dan kompetisi yang tidak sehat adalah benih mencuatnya konflik.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI